Pawai Ta'aruf MTQ Jawa Timur 2013

By

Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) merupakan agenda tahunan Provinsi Jawa Timur yang memiliki makna penting untuk menjalin silaturrahmi antarwarga dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Timur. Acara ini diselenggarakan pada bulan Juni 2013 di Surabaya. Untuk memeriahkan event tersebut juga digelar berbagai acara termasuk didalamnya adalah Pawai Ta'aruf. Dan kali ini untuk yang ke-dua kalinya Sanggar Panji Laras dipercaya mewakili kota Probolinggo untuk mengikuti Pawai Ta'aruf setelah sebelumnya di adakan di Kota Madiun.
Kali ini OklekPanjiLaras menyajikan musik dan lagu pendalungan yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat kota Probolinggo tentunya. Lagu yang bertajuk "Shalabet Duh,ya lek" ini diciptakan oleh Nari, S.Pd dan musik diaransemen oleh tim OklekPanjiLaras.

Festival Kesenian Pesisir Utara 2013

By
Festival Kesenian Pesisir Utara (FKPU), merupakan sebuah acara pertunjukan kesenian dari berbagai daerah (terutama daerah-daerah pinggiran pantai utara Jawa). Acara ini merupakan agenda tahunan Dinas Pariwisata Jawa Timur yang diikuti oleh hampir seluruh daerah di pesisir utara jawa timur dan seluruh Madura disamping acara lain yang bertajuk sama yaitu FKPS (Festival Kesenian Pesisir Selatan). Festival ini diadakan di Kabupaten Tuban pada bulan Nopember 2013.
Dalam event ini Sanggar Panji Laras juga ikut andil dalam meramaikan acara tersebut dengan membawa Panji dari Kota Probolinggo. Kali ini Sanggar Panji Laras menyajikan pertunjukan "Lengger" yang rencananya akan dijadikan salah satu brand kota Probolinggo disamping Jaran Bodhag dan Rerere.
Lengger di daerah lain biasa disebut "tayub" atau "ledek". Merupakan salah satu hiburan rakyat, yang tradisional yang masih dapat kita jumpai di pinggiran kota probolinggo terutama di daerah pesisir. Di kota probolinggo kesenian ini masih dapat kita jumpai didaerah pasar Mangunharjo atau biasa masyarakat menyebutkan pasar Babean atau di kawasan TWSL (Taman Wisata Studi Lingkungan) yang berada di sebelah pojok utara-timur kota Probolinggo. Biasanya kesenian ini diadakan pada waktu malam hari.
Alasan mengapa sanggar kami mengangkat "Lengger" adalah untuk melestarikan kesenian tradisi yang belakangan mulai punah, dan juga kami ingin menghilangkan "image negatif" dan menciptakan "image positif" tentang "Lengger" di mata masyarakat untuk kembali ke fungsi yang semula yaitu sebagai kesenian hiburan rakyat yang pantas untuk dinikmati.

Janger

By
Janger Kedaton berusia 100 tahun. Itu berarti Janger sudah berusia seabad lebih, dan kita tidak tahu apakah usia sejatinya dua abad atau tiga abad. Belum ada penelitian ke arah itu, termasuk bagaimana evolusi Janger dari abad ke abad. Bahwa di Banjar Kedaton telah ada Janger sejak tahun 1906 dan terus dipelihara dari waktu ke waktu tentu merupakan prestasi tersendiri. Lestarinya kesenian di sebuah desa di Bali umumnya dikaitkan dengan hal-hal mistis. Janger Kedaton pun demikian. Masyarakat boleh beralih profesi, tetapi kesenian tetap dipertahankan karena dipayungi oleh hal-hal mistis dan sakral. Perjalanan Janger ini menjadi sisi menarik yang layak didokumentasikan.


Seni tari Janger mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Ini disebabkan pola dasar tari Janger adalah adanya dua kelompok yang bertembang saling bersautan. Di daerah-daerah lain Nusantara, jenis kesenian yang bertembang bersautan juga ada, baik berupa kidung tradisional maupun berpantun. Dan, kesenian seperti itu mengalami perubahan yang sama dengan Janger, yakni masuknya unsur-unsur aktual tentang situasi dan kondisi masyarakat pada zamannya.

Janger yang ''tradisional'', meski belum ada penelitian tentang itu, agaknya bercerita tentang kelompok muda-mudi yang lagi dimabuk asmara. Ini dilihat dari kelompok yang bercirikan gender, ada kelompok pria dan ada kelompok wanita. Mereka bertembang bersautan tentang kisah-kisah asmara, dari cara berkenalan, menanyakan identitas, dan menjurus ke rayuan. Semuanya dilakukan dengan riang gembira. Mungkin keriangan itu ciri khas Janger yang tidak mengalami perubahan.

Pada dasawarsa 1960-an, terutama menjelang tahun 1965, Janger di Bali diracuni masalah politik yang mencerminkan adanya pertentangan di tengah-tengah masyarakat. Ada Janger PKI dan ada Janger PNI dan mereka saling sindir. Pakaian penari pun, terutama kelompok pria, mengalami perubahan sesuai dengan situasi saat itu. Janger kelompok pria memakai celana dan sering di tangannya ada pedang. Jadi, gerak tarinya adalah kombinasi dari gerakan silat. Mereka berteriak dengan cara koor: ''Marhaen menang, Pancasila jaya'', itu bagi Janger PNI. Sedangkan janger PKI bernyanyi koor: ''Sama rata, sama rasa, sosialisme ala Indonesia.'' Banyak lagi jargon-jargon khas zaman itu, yang saat ini menjadi sesuatu yang menggelikan untuk dikenang.

''Janger politik'' itu tidak lagi bercerita tentang kisah asmara, tetapi ''kisah keluarga'', melalui tembang-tembangnya. Misalnya, Janger kelompok pria bertembang tentang kepergiannya memperjuangkan nasib rakyat, kalau dia meninggal, jangan cari suami yang berlainan partai. Kelompok Janger wanita menjawab dengan tegas, bahwa ia akan melanjutkan perjuangan.

Tetapi tidak semua sekaa Janger terlibat dalam ''politik praktis''. Ada yang netral, namun cara berpakaian dan isi tembang mengikuti perkembangan saat itu. Misalnya, Janger kelompok pria bernyanyi tentang kepergiannya menjadi sukarelawan. Koor yang dikumandangkan selalu diakhiri dengan jargon: ''Ganyang Malaysia''. Janger kelompok wanita bertembang tentang cinta kasih sambil menyiapkan bekal untuk ''mengganyang Malaysia''.

Setelah meletusnya G-30-S/PKI, lama kesenian Janger menghilang. Masyarakat Bali trauma dengan Janger, seolah-olah kerenian itu adalah simbol dari ''sisi gelap'' Bali, betapa mudahnya orang Bali diadu-domba dan saling membunuh sesamanya. Janger baru muncul kembali di masa Orde Baru. Dan lagi-lagi Janger menjadi corong politik, kali ini ''politik pembangunan''. Maka ada Janger tentang Keluarga Berencana. Meski kisah-kisah asmara masih ada, tetapi itu hanya sebagai pembuka sebelum masuk ke kisah intinya yaitu propaganda pemerintah tentang keberhasilannya. Orang tentu masih ingat, Gubernur Bali Ida Bagus Oka hampir setiap HUT Pemda Bali mengajak stafnya menari Janger. 


sumber : www.iloveblue.com

DONGKREK

By
dongkrek
nama dongkrek terinspirasi dari bunyi alat musik yg mengiringinya. bunyi 'dung' berasal dari bedug, dan bunyi 'krek' berasal dari alat musik yg disebut korek. kalo bedugnya ya sama dg bedug2 yg biasa kita liat di masjid (cuman mungkin ukurannya lebih kecil). yg menarik itu korek, korek ini nggak ada padanannya di kesenian lain, cuman ada di dongkrek. sehingga jadi ciri khas seni dongkrek. klik aja gambarnya untuk memperbesar.

peralatan musik dongkrek: bedug, korek, kentongan, kenong, gong besi, gong kempul, kendang. peralatan topeng dongkrek: topeng orang tua, topeng putri, topeng gendruwo/buto, juga topeng masyarakat dan gendongan.


dongkrek adalah kesenian rakyat, yg bisa dimainkan oleh anak2. dongkrek mempunyai filosofi untuk mengusir pegeblug atau wabah penyakit yg mengganggu masyarakat, juga untuk tolak bala, serta mengurangi keburukan.

sejarahnya, dongkrek dulu dipopulerkan tahun 1910 oleh R. Bei Lo Prawirodipura, seorang palang(?) di daerah caruban. dongkrek punya banyak versi: dari madiun selatan, dari takeran, sampai dari ngawi juga ada. semua versi itu untuk kebaikan, kan filosofinya untuk tolak bala, untuk mengurangi keburukan.

dongkrekdongkrekdongkrek
Nama dongkrek terinspirasi dari bunyi alat musik yg mengiringinya. bunyi 'dung' berasal dari bedug, dan bunyi 'krek' berasal dari alat musik yg disebut korek. kalo bedugnya ya sama dg bedug2 yg biasa kita liat di masjid (cuman mungkin ukurannya lebih kecil). yg menarik itu korek, korek ini nggak ada padanannya di kesenian lain, cuman ada di dongkrek. sehingga jadi ciri khas seni dongkrek. klik aja gambarnya untuk memperbesar.
dongkrek
peralatan musik yang berasal dari madiun dan sekitarnya ini antara lain bedug, korek, kentongan, kenong, gong besi, gong kempul, kendang. peralatan topeng dongkrek:

tahun 1973, dongkrek digali dan dikembangkan oleh dinas P dan K kabupaten madiun dan dinas P dan K propinsi jawa timur. tahun 1980 diadakan garap tari oleh pak suwondo, kepala seksi kebudayaan kabupaten madiun. tapi semakin lama dongkrek ini semakin tenggelam, jadi nggak terkenal. baru mulai tahun 2002 dongkrek dibawa kelompok seni "condro budoyo" mengikuti festival2 ke luar madiun, termasuk ke festival cak durasim, surabaya. bahkan sampek tampil di istana segala.




sumber : http://mimimama.blogspot.com/

Can Macanan Kaduk

By
kadhuk.JPG

Can-Macanan Kadhuk itu artinya adalah Macan yang terbuat dari karung goni, karena pada awalnya dulu, macan-macanan ini memang dibuat dari karung goni. Kesenian ini berasal dari kabupaten Jember. Can-macanan kaduk merupakan kesenian yang diduga berasal dari tradisi pekerja kebun ketika mereka harus menjaga kebun dari serangan hewan liar ataupun pencuri. Kesenian ini kalau dilihat dari estetika pertunjukannya bisa dikatakan memadukan konsep kesenian Barongsai Tionghoa dan Barongan Osing serta instrumen musik Jawa. Meskipun berbeda latar historis penciptaan, Singo Ulung bisa dikatakan hampir mirip dengan Can-Macanan Kaduk, meskipun saat ini tampilan kostum dan gerakan-gerakan tarinya lebih terlihat bagus karena sudah mendapatkan sentuhan dari koreografer profesional. Sedangkan menurut Harry Krisna, Can-Macanan Kaduk merupakan variasi/tambahan dari pencak silat yang lebih menonjolkan sisi hiburannya. Dalam perkembangannya musik yang digunakan lebih rancak mengikuti selera penonton. 
Can macanan kadhuk pertama kali digunakan petani di zaman penjajahan Jepang untuk mengusir hewan seperti kera, babi hutan yang sering merusak tanaman palawija. Seiring perkembangannya, kesenian can macanan kadhuk, akhirnya disempurnakan dengan menambah kesenian lain. Seperti jaranan, pencak silat dan tarian buk sukera dari Madura.
Kesenian ini tidak hanya menonjolkan hiburan semata. Namun di sisi lain ada pesan sosial yang terkandung di dalamnya. Misalnya di zaman sekarang, cerita can macanan kadhuk
menggambarkan seekor harimau yang turun ke pemukiman penduduk, karena hutan yang ditinggalinya gundul sehingga harus memangsa anak-anak. Pementasan can macanan kadhuk biasanya untuk memeriahkan acara hajatan atau perayaan hari-hari besar
Proses pementasan kesenian Can-Macanan Kaduk ini biasanya dimulai dengan burung Garuda, Can-Macanan, atraksi anak-anak, pertunjukan bela diri tangan kosong lalu penampilan atraksi berpasangan yang diakhiri dengan pertunjukan marlena. Namun, urutan-urutan ini bisa saja berubah tergantung permintaan yang "nanggap" kata pak Sumar. Jumlah personil sekali pementasan biasanya empatpuluh lima sampai dengan limapuluh orang tergantung permintaan.
Belakangan ini, masyarakat Jember yang berada di daerah kota umumnya tidak terlalu antusias menyambut pementasan Can-Macanan Kadhuk ini. Umumnya mereka lebih menyukai kesenian modern setiap kali melaksanakan hajatan, misalnya karaoke, dan dangdut. Hal ini berbeda dengan masyarakat desa yang sangat antusias menyambut setiap pementasan. Oleh sebab itu, pementasan lebih sering dilakukan di luar kota.
Keberadaan organisasi grup ini bersifat informal, karena dimiliki secara personal. sang pendiri grup adalah sekaligus pemilik dan pemimpin kelompok kesenian tersebut. Tidak ada struktur organisasi yang jelas. Manajemen organisasi juga personal, hampir semua urusan diurusi oleh pemilik tersebut. Sementara itu Pemerintah Daerah tidak pernah memberikan perhatian serius terhadap grup kesenian ini. Meskipun, beberapa kali Pembina grup ini mengajukan proposal kepa Pemerintah untuk mengadakan festival Can-Macanan Kadhuk se-Kabupaten Jember, mirip dengan grebek Suro di Kabupaten Ponorogo. Akankah Kesenian ini bisa bertahan ditengah modernisasi yang sekarang ini sedang digalakkan?

TOPENG MALANGAN

By

Tari Topeng Malang sangat khas karena merupakan hasil perpaduan antarabudaya Jawa Tengahan dan Jawa Timuran (Blambangan dan Osing) sehingga akar gerakan tari ini mengandung unsur kekayaan dinamis dan musik dari etnik Jawa, Madura dan Bali. Salah satu keunikannya adalah pada model alat musik yang dipakai seperti rebab (sitar Jawa) seruling Madura (yang mirip dengan terompet Ponorogo) dan karawitan model Blambangan. (Claire Holt. 2000. Melacak Jejak-
jejak Perkembangan Seni Indonesia).
Tari Topeng sendiri diperkirakan muncul pada masa awal abad 20 dan berkembang luas semasa perang kemerdekaan. Tari Topeng adalah perlambang bagi sifat manusia, karenanya banyak model topeng yang menggambarkan situasi yang berbeda, menangis, tertawa, sedih, malu dan sebagainya( Drs. Sumarwahyudi, dkk. 1999. Kerajinan Topeng).
Berdasarkan wawancara kepada Pak Karimun ( pengrajin Topeng Malang ), telah kami peroleh informasi tentang sejarah tari ini. Menurutnya, Tari Topeng diciptakan oleh Airlangga ( putra dari Darmawangsa Beguh) dari Kerajaan Kediri. Ia kemudian menyebarkan seni tari itu sampai ke Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh Ken Arok.
Raja Singosari itu kemudian menggunakan Tari Topeng untuk upacara adat, drama tari yang terdiri dari kisah Ramayana, Mahabarata, dan Panji. Selain itu, Tari topeng juga digunakan untuk penghormatan pada para tamu dan ritual memuja arwah nenek moyang.
Kemudian pada awal penyebaran agama islam di Indonesia, para Wali Sanga mencoba memperbaiki tari topeng agar dapat disesuaikan dengan aturan agama islam. Diantaranya adalah dengan merubah tata busana Tari Topeng menjadi lebih sopan dan juga mengganti bahan alat musik Tari Topeng ( gamelan ) yang semula dari besi kemudian diganti kuningan.
Tujuan penggantian bahan gamelan Tari Topeng menjadi kuningan adalah untuk memperkeras alunan  musik tari tersebut. Karena dengan alunan yang keras, banyak rakyat yang akan datang ke tempat tarian itu. Dan para Wali Sanga dapat menyebarkan agama islam di tempat itu
Pada saat zaman penjajahan, tari topeng sudah hampir punah. Dan hanya pejabat-pejabat tinggi atau pemerintah Kolonial Belanda saja yang mengerti tentang Tari Topeng. Tetapi ada seorang pelayan Belanda bernama Panji Reni yang ditugaskan mencuci topeng . Ia kemudian tertarik untuk mempelajari tari tersebut.
Akhirnya, ia mencoba membuat topeng di Polowijen, Blimbing dan ternyata hasilnya sangat memuaskan. Kemudian, ayah Pak Karimun ( Ki Man ) juga mempelajari Tari Topeng tersebut dan mencoba membuat topeng di Kedung Monggo, kec.Pakisaji, Malang.
Dan pada tahun 1933, Pak Karimun belajar menari topeng bersama ayahnya. Dan akhirnya ia menjadi pengrajin topeng serta pendiri sanggar tari karena takut Tari Topeng akan punah.

WAYANG KULIT

By



Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan jawa yang dimainkan sekelompok yaga (penabuh gamelan) dan tembang (lagu) yang dinyanyikan oleh parasinden (penyanyi). Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir.
Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon/judul), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabarata danRamayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.
SEJARAH
Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari setengah milenium. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan masuknya Islam Jawa. Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha. Adopsi itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama Islam melarang bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang hanya bisa melihat bayangan.
Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa.
Tokoh-tokoh dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang sedang tak dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan.
Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam lakon terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon gubahan dan lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya bersumber pada perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis besarnya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak bersumber pada cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai pada perpustakaan wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat lepas.
Cerita wayang bersumber pada beberapa kitab tua misalnya Ramayana, Mahabharata, Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat lakon gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat Abimanyu kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Diantara semua kitab tua yang dipakai, Kitab Purwakanda adalah yang paling sering digunakan oleh dalang-dalang dari Kraton Yogyakarta. Pagelaran wayang kulit dimulai ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan. Sebuah pagelaran wayang semalam suntuk gaya Yogyakarta dibagi dalam 3 babak yang memiliki 7 jejeran (adegan) dan 7 adegan perang. Babak pertama, disebut pathet lasem, memiliki 3 jejeran dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pathet Sanga yang menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang, sementara Pathet Manura yang menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan perang. Salah satu bagian yang paling dinanti banyak orang pada setiap pagelaran wayang adalah gara-gara yang menyajikan guyonan-guyonan khas Jawa.

JEJER GANDRUNG

By

Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.
Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.
Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.
Tata busana penari Gandrung Banyuwangi khas, dan berbeda dengan tarian bagian Jawa lain. Ada pengaruh Bali kerajaan Blambangan yang tampak.

Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.

Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima yang berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung. Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung. Sejak setelah tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga menjadi yang sekarang ini.
Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.
Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.
Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu buah kempul atau gong, satu buah kluncing (triangle), satu atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasang kethuk. Di samping itu, pertunjukan tidak lengkap jika tidak diiringi panjakpengudang (pemberi semangat) yang bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan gandrung. Peran panjak atau kadang-kadang disebut dapat diambil oleh pemain kluncing.